Wajah Telaga – Dewi Lestari

Wajah telaga tidak pernah berdusta
Ia bergetar saat udara halus menyapu mukanya
Ia berteriak saat angin lincah mengajaknya menari
Ia tak menghindar dari undangan alam tempatnya menghampar
Menghadap awan yang menunggu sabar
dini hari datang
untuk keduanya bersentuhan
Wajah telaga tidak pernah menyangkal
Ia membeku saat langit memecah menjadi miliaran kristal putih
Ia mencair saat matahari kembali di angkasa tanpa serpih
Ia tak bersembunyi dari perubahan dan gejolak hati
Menanti awan yang berubah tak pasti
hingga pagi datang
dan keduanya berpulang pada kejujuran
Izinkan wajahku menjadi wajah telaga
Merona saat disulut cinta
Menangis saat batin kehilangan kata
Memerah saat dihinggapi amarah
Menggurat saat digores waktu
Izinkan wajahku bersuara apa adanya
Bagai telaga yang tak menolak lumut juga lumpur
Namun tetap indah dalam teguh dan ikhlasnya
Kepada udara, kepada surya, kepada alam raya
Menanti engkau yang melayang mencari arti hingga dini hari datang
Lalu kau luruh menjadi embun yang mengecupi halus wajahku
Saat engkau mencair menjadi aku dan aku hidup oleh sentuhanmu
Bersua tanpa samaran apa-apa
Saat semua cuma cinta
Cinta semua saat
Dan bukan lagi saat demi saat

(Diambil dari buku berjudul Madre karya Dee)

Syair Mitsuo Aida

Mitsuo Aida (1924-1991), penyair dan ahli kaligrafi yang puisi-puisinya mengingatkan kita akan pentingnya keluguan hati.

Karena telah menjalani hidupnya sepenuh-penuhnya, rerumputan yang kering gersang tetap menarik perhatian orang-orang yang berlalu lalang.

Bunga-bunga sekadar berbunga,
Dan ini mereka lalukan sebaik-baiknya.
Bunga lili putih yang mekar tak terlihat di lembah,
Tak butuh menjelaskan dirinya pada siapa-siapa;
Dia hidup hanya demi keindahan.
Namun kata “hanya” itu tak diterima manusia.

Andai tomat-tomat ingin menjadi melon,
Betapa menggelikannya.
Heran sungguh saya melihat,
Begitu banyak orang ingin menjadi yang bukan diri mereka;
Apa gunanya menjadikan diri sendiri bahan tertawaan?

Tak perlu kita selalu berpura-pura tangguh,
Tak guna membuktikan sepanjang waktu bahwa semuanya baik-baik saja,
Usahlah memikirkan apa kata orang,
Menangislah kalau perlu,
Menumpahkan air mata itu baik (sebab hanya dengan begitu kita akan bisa tersenyum lagi)

(Dari buku Paulo Coelho yang berjudul Seperti Sungai yang Mengalir
Diterjemahkan oleh Tanti Lesmana.)

Narcissus

seperti juga aku: namamu siapa, bukan?
pandangmu hening di permukaan
telaga dan rindumu dalam
tetapi jangan saja kita bercinta
Jangan saja aku mencapaimu dan kau
padaku menjelma

atau tunggu sampai angin melepaskan
selembar daun
dan jatuh di telaga: pandangmu
berpendar, bukan?
cemaskah aku kalau nanti air hening kembali?
cemaskah aku kalau gugur daun demi daun lagi?

Sapardi Djoko Damono, 1971

Di Pinggir Jalan Desa Berlumpur

Wanita itu berbicara kepada pria yang tak lagi mendengarkannya.
Pria itu asyik dengan mainan barunya
(Kata-kata seakan-akan mampu meloloskan diri dari wanita itu
Pria dihadapannya memenjarakan kata-kata)

Dulu mereka bertemu mengamati surat-surat
Di bawah anak tangga rumah pohon itu
Kertas demi kertas berbicara kepada entah siapa melalui bibir wanita itu
Pria itu selain mengamati, ia mendengar surat-surat yang kini mampu bicara

“Cinta hanya rangkaian kata sementara benci membelakangi…”

Mereka saling menatap setelah kalimat itu berulang-kali diucap,
Dan ada yang lahir dari pandangan itu; segala makna memenuhi akal masing-masing
Yang menyembul di kepala mereka hanya berupa uap
Hasil pemikiran tak terselamatkan

“Aku ingin bertemu denganmu, Marquez, Tanggalkan mainan itu.
Kata-kata menguap tak apa
Tetapi aku kian memudar.”

Pria itu hanya sebentar menolehkan wajahnya yang kini kehilangan mata
Wanita itu meminjamkan air matanya.dan berjanji tak akan menagihnya.

Amby 201309

Arang

Orang-orang mengolok-olok cita-cinta
Apa sebab bintang bersinar?

Buku-buku mewartakan kata-kata
Apa sebab gairah memudar?

Alam semesta hidup!
Kehidupan demi kehidupan seakan tut tangga nada
Ada yang menolak menjadi tua
Hilang suara

Jiwa menghadap pencipta
Mengadu air mata yang tumpah ke tanah
Tubuh: runtuh, hancur-lebur

Amby 20130913

Hujan Bulan Juni – Sapardi Djoko Damono

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

Pada Suatu Hari Nanti -Sapardi Djoko Damono

pada suatu hari nanti jasadku tak akan ada lagi tapi dalam bait-bait sajak ini kau tak akan kurelakan sendiri

pada suatu hari nanti suaraku tak terdengar lagi tapi di antara larik-larik sajak ini kau akan tetap kusiasati

pada suatu hari nanti impianku pun tak dikenal lagi namun di sela-sela huruf sajak ini kau tak akan letih-letihnya kucari

Sajak Nopember – Sapardi Djoko Damono

Siapa yang akan berbicara untuk kami
siapa yang sudah tahu siapa sebenarnya kami ini
bukanlah rahasia yang mesti diungkai dari kubur yang berjejal
bukanlah tuntutan yang terlampau lama mengental

tapi siapa yang bisa memahami bahasa kami
dan mengerti dengan baik apa yang kami katakan
siapa yang akan berbicara atas nama kami yang berjejal dalam kubur

bukanlah pujian-pujian kosong yang mesti dinyanyikan
bukanlah upacara-upacara palsu yang mesti dilaksanakan
tapi siapa yang sanggup bercakap-cakap dengan kami
siapa yang bisa paham makna kehendak kami

kami yang telah lahir dari ibu-ibu yang baik dan sederhana
ibu-ibu yang rela melepaskan seluruh anaknya sekaligus
tanpa dicatat namanya
kepada Ibu yang lebih besar dan agung :
ialah Tanah Air

kami telah menyusu dari pada bunda yang tabah
yang rela melepaskan seluruh anaknya sekaligus
untuk pergi lebih dahulu
apakah kau dengan para bunda itu mencari kubur kami
apakah kau dengar para bunda itu memanggil nama kami
mereka hanya berkata : akan selalu kami lahirkan anak-anak yang baik
tanpa mengeluh serta putus asa

di Solo dua orang dalam satu kuburan
di Makasar sepuluh orang dalam satu kuburan
di Surabaya seribu orang dalam satu kuburan
dan kami tidak menuntut nisan yang lebih baik
tapi katakanlah kepada anak cucu kami;
di sini telah dikubur pamanmu, ayahmu, saudaramu
bertimbun dalam satu lobang
dan tiada yang tahu siapa nama mereka itu satu-persatu

tambur yang paling besar telah ditabuh
dan orang-orang pun keluar untuk mengenangkan kami
terompet yang paling lantang ditiup
dan mereka berangkat untuk menangiskan nasib kami dulu
kami pun bangkit dari kubur
memeluki orang-orang itu dan berkata : pulanglah
kami yang mati muda sudah tentram, dan jangan
diusik oleh sesal yang tak keruan sebabnya

kami hanya berkelahi dan sudah itu : mati
kami hanya berkelahi untukmu, untuk mereka
dan hari depan, sudah itu : mati

orang-orang pun menyiramkan air bunga yang wangi saat itu
tanpa tahu siapa kami ini
tiada mereka dengarkan ucapan terimakasih kami yang tulus
tiada mereka dengarkan salam kami bagi yang tinggal
tiada mereka lihatkah senyum kami yang cerah dan sudah itu : mati

siapa berkata bahwa kami telah musnah siapa berkata

kami kenal nama-namamu di mesjid di gereja di jalan di pasar
kami kenal nama-namamu di gunung di lembah di sawah
di ladang dan di laut, meskipun kalian tiada menyadari kehadiran kami

siapa berkata bahwa kami telah musnah siapa berkata

tanah air adalah sebuah landasan
dan kami tak lain baja yang membara hancur
oleh pukulan
ialah kemerdekaan

kemarin giliran kami
tapi besok mesti tiba giliranmu
kalau saja kau masih mau tahu ucapan terimakasih
terhadap tanah tempatmu selama ini berpijak
hidup dan mengerti makna kemerdekaan

dan kami adalah baja yang membara di atas landasan
dibentuk oleh pukulan : ialah kemerdekaan
(mungkin besok tiba giliranmu)

siapa yang tahu cinta saudara, paman dan bapa
siapa yang bisa merasa kehilangan saudara, paman dan bapak
ingat untuk apa kamu pergi

siapa yang pernah mendengar bedil, bom dan meriam
siapa yang sempat melihat luka, darah dan bangkai manusia
ingat kenapa kami tak kembali

begitu hebatkah kemerdekaan itu hingga kami korbankan
apa saja untuknya
jawablah : ya
begitu agungkah ia hingga kami tak berhak menuntut apa-apa
jawab lagi : ya

sudah kau dengarkah suara sepatu kami tengah malam hari
datang untuk memberkati anak-anak yang tidur
sebab merekalah yang kelak harus bisa mempergunakan
bahasa dan kehendak kami
sudah kau dengarkah suara napas kami
menyusup ke dalam setiap rahim bunda yang subur
sebab kami selalu dan selalu lahir kembali
selalu dan selalu berkelahi lagi

mungkin pernah kau kenal kami dahulu, mungkin juga tidak
mungkin pernah kau jumpa kami dahulu, mungkin juga tidak
tapi toh tak ada bedanya:
kami telah memulainya
dan kalian sekarang yang harus melanjutkannya

dan memang tak ada bedanya :
kalau hari itu bagi kami adalah saat penghabisan
bagimu adalah awal pertaruhan
awal dari apa yang terlaksana kemarin, kini besok pagi
meski kami pernah kau kenal atau tidak
meski kami pernah kau jumpa atau tidak

kami adalah buruh, pelajar, prajurit dan bapa tani
yang tak sempat mengenal nama masing-masing dengan baik
kami turun dari kampung, benteng, ladang dan gunung
lantaran satu harapan yang pasti
walau tak pernah kembali

kami hanyalah kubur yang rata dengan tanah dan tak bertanda
kami hanyalah kerangka-kerangka yang tertimbun dan tak punya nama
tapi hari ini doakan sesuatu yang pantas bagi kami
agar Tuhan yang selalu mendengar bisa mengerti
dan mengeluarkan ampun
kami adalah mayat-mayat yang sudah lebur dalam bumi
tapi adukan segala yang pantas tentang diri kami ini
agar tak lagi mengembara arwah kami

kami telah lahir, hidup dan berkelahi : dan mati
kami telah mati
lahir dari para ibu yang mengerti untuk apa kami lahir di sini
hidup di bumi yang mengerti semangat yang menjalankan kami
kami telah berkelahi; dan mati
tapi siapakah yang bisa menterjemahkan bahasa hati kami
dan mengatakannya kepada siapa pun
tapi siapakah yang bisa menangkap bahasa jiwa kami
yang telah mati pagi sekali
dan berjalan tanpa nama dan tanda
dalam satu lobang kubur
kami telah lahir dan selalu lahir
selalu dan selalu lahir dari para bunda yang tabah

selalu dan selalu berkelahi
di mana dan kapan saja

biarkan kami bicara lewat suara anak-anak
yang menyanyikan lagu puja hari ini
biarkanlah kami bicara lewat kesunyian suasana
dari orang-orang yang mengheningkan cipta hari ini

Sementara bendera yang kami tegakkan dahulu berkibar
atas rasa bangga kami yang sederhana

biarkanlah kami bicara hari ini
lewat suara anak-anak yang menyanyikan lagu puja
lewat kesunyian suasana orang-orang yang mengheningkan cipta

Gelora
Th III, No 19
( Nopember 1962)