Puisi Cat Air Untuk Rizki – Sapardi

Angin berbisik kepada daun jatuh yang tersangkut kabel telpon itu, “aku rindu, aku ingin mempermainkanmu!”
Kabel telpon memperingatkan angin yang sedang memungut daun itu dengan jari-jarinya gemas, “jangan berisik, mengganggu hujan!”
Hujan meludah di ujung gang lalu menatap angin dengan tajam, hardiknya, “lepaskan daun itu!”

Rindu14

Kau sedang apa? Tanya puisiku. Aku sedang meramu rindu, dan jadilah kamu, jawabku.

Segala yang berdesakan dalam dadaku memanggil-manggil, cemburu. “Rindu bukan hanya milikmu!” Aku diduain rindu.

Sekali waktu aku bertanya pada rindu, “sekali-sekali, boleh aku yang membelenggu?” Memenjarakan kamu di tubuh yang beku.

Kini tak tahulah, rindu mana lagi yang kutuju. Puisi katanya, kini berisi nafsu.

Oh, Wisnu, jalan pikiranku membiru.

(ini isi puisi yang lalu, sebelum rindu dan aku bertemu. Sengaja tak kukirim dahulu, sebab dulu kita sedang tersedu-sedu)

“Apa yang tak kau mengerti di rindu, jangan kau tanyakan saat bertemu”

Di sisi kolam, sebulan setelah semua berlalu, aku ingat baik-baik tepat saat mata kita beradu. Kau menjadi sumber, isi dari puisiku.

Lambat-lambat aku kenangkan, selambat itu pula air mata, tak ubahnya sumber dari segala suka sedalam duka menggenang, kini harus kau sadari, aku berhasil melarikan diri! Dan kamu berhasil membuatku mati berdiri! Kita masing-masing berhasil membuat puisi paling ngeri: Pergi.

rindu13

Apabila cinta yang dapat mendamaikan rindu. Jadilah kau cintaku, seumur waktuku.

Dan tidur adalah tempat di mana kita bersembunyi dari kematian sekaligus kehidupan itu sendiri. Aku ingin tidur di sisimu.

Bagaimana aku peduli, katamu, adalah bagaimana aku tak peduli padamu.

Hari ini waktu hanya menyisakan jejak langkah di setiap menitnya. Aku menyisakan kenangan di setiap waktunya.

Lantas aku bersahabat dengan bahasa bermain-main kata meniup sangkala mencumbui prasangka melepas yang nyata. Begitu aku, dinda, melayang.

Sebagaimana yang datang akan pulang, maka aku akan pulang untuk datang. Apa-apa yang melayang akan terbang dan menghilang.

Suatu ketika rindu menepi di sisi kamu. Selamat tinggal, katanya. Entah pada siapa. Selamat jalan, balasku. Entah kemana.

Tak akan habis kata-kataku untuk rindu. Yang akan habis mungkin rindu itu untukmu.

Perihal duri yang tak pandai menyimpan perih, begitu juga aku tak pandai menyimpan duri yang menusuk kamu.

Di lembah itu kutaruh rindu. Tempat dimana tak ada yang tahu, selain kamu. Di kabut itu kutaruh ribut dan kalut, tak ada yg tau, selain kamu.

Dengan demikian, perkara rindu di pending 1 x menunggu. “Tok! Tok! Tok!”

rindu12

Bayangkan! Bila rindu memiliki mata, dia bisa terlelap bukan hanya lenyap.

Aku rindu pada yang nyata, namun aku terlalu asyik membangun bayangan, lantas melebur dalam kenangan.

Di suatu senja seorang perindu, duduk menunggu. Pikirannya melayang ke tempat dimana letaknya kamu pun tak tahu.

Senja tak pernah melawak, namun terkadang perindu tertawa terbahak, sekeras kerinduan yg telah lama dipendam, senyaring kesunyian yang malam.

Terkadang rindu itu adalah suatu pertanda mengapa aku harus mengenalimu, menjejali waktu dalam tubuhmu tanpa syarat, tanpa isyarat.

Lihatlah malam yang mendekap bumi dengan gelapnya. Lihatlah bagaimana pagi membakarnya, sisa-sisa malam menjelma embun.

Seorang perindu itu tak menyesali bagaimana ia menunggu sepanjang waktu. Tak menyalahkan, bagaimana waktu tak juga menunggu.

Pada akhirnya perindu dan waktu bersahabat. Mereka saling mengisi yang tak terucapkan, dengan setia menjaga yang tak terungkapkan.

Akulah keberadaan yang mereguk keadaan hingga tiada.

rindu11

Akhirnya, aku terbebas dari rindu. Ada syarat-syarat yang berlaku; Satu, kamu harus bertemu. Kedua, kamu harus mau. Sisanya diatur lebih lanjut.

Hati-hati dengan rindu yang menipu. Selain barang, rindu pun sudah terdapat bajakannya. Harus di apdet!

Nanti akan ada aturan, apabila pabrik hati mencetak rindu sebanyak-banyaknya, maka dibuatlah nomor seri, agar tak tertukar.

Di sebuah kaleng acak, terdapat kumpulan rindu. Setiap kali ku ambil, rindu itu milikmu.

Kita semua harus sama-sama menjaga rindu, demikian, untuk keselamatan dari peniru.

rindu10

Katanya, aku sibuk. Sampai menghubungi waktu pun aku tak mampu. Rindu jadi bingung sendiri.

Katanya, aku sibuk. Menanggung jawaban yang satu, membunuh yang tanggung itu.

Jean Paul Sartre mengatakan, “kita dihukum untuk menjadi bebas!” Miris, kita tak lagi terikat dengan kesucian, hanya krn tak ingin terikat.

Di dalam dunia bebas, orang-orang segera sibuk mencari beban dan tanggung jawab.

Aku ingin bebas. Tapi keakuanku terikat oleh kenyamanan yang membuatku tak jadi mengembang.

Kebebasan yang kumiliki pasti salah pengertian. Sebab aku tak lagi terbang, aku hanya merasa terbang, merasa melayang.

Di sebuah arena pertarungan, tersebutlah: Nurani vs Naluri. Aku yang menjadi wasitnya. Yang kalah, kubelenggu. Yang menang, terbelenggu.

Dan ketika muncul sebuah pertarungan. Baik yg menang maupun yg kalah. Aku bangga, keduanya memiliki semangat juang. Semangat Juang? Ya, itu.

Apabila baru mendapatkan semangat kurang, segera isi di pom juang terdekat. Persediaan terbatas!

Inilah mengapa rindu seperti ban. Agar dapat di dorong ketika mogok.

rindu9

Rindu milikku ini belum konsisten. Rindu milikku sedang belajar bagaimana menjadi rindu yang sejati tanpa menghilangkan kamu.

Suatu ketika, rindu bersuara: “aku ini dinamis, kawan! Aku ini statis. Tapi aku tak bau amis.”

Betapapun dinding yang kubuat untuk menahan rindu, apa daya rindu seperti hantu yang menembus aku.

Ruang rindu berantakan! Ketika mencoba memilah-milah serakan rindu, kutemukan pecahan-pecahan kamu yang tak lagi bulat seperti bilangan.

Rindu yang beku jangan diadu, nanti juga cair sendiri. Jika kamu yang beku, boleh aku mengadu?

Rindu yang produktif adalah rindu yang bekerja dan selalu membawa kamu diperaduanku.

HARAP DIBACA!!! “Aku rindu. Aku, rindu.”

rindu8

Katanya, rindu mencoba mengambil kamu dari kita. Kataku, rindu mencoba memberi kamu menjadi kita.

Lantas, kita sama-sama bertualang sebelum pada akhirnya kita berpulang. Petualanganku dalam buku. “Petualanganku dalam waktu!” Katamu berseru.

“Kamu tak perlu bertamu untuk bertemu.” Katamu. “Aku malu!” Kataku.

Suatu ketika, aku menjadi tersangka. Kau menuduhku orang baik. Coba kau cari tahu dahulu, sebelum aku berlalu.

rindu7

Suatu ketika, ketika tak ada lagi berlalu, maka tak ada lagi bertemu.

Apabila rindu adalah pertemuan aku dengan kesendirian, maka perpisahan adalah pertemuan aku dengan kesepian.

Cukup! Biar waktu saja yang berlalu, kamu tetap di sini, disisi masa laluku.

Apabila aku menahan pertemuan itulah saatnya dimana aku mempertahankan kerinduan.

Apabila angkasa pikiranku dipenuhi kekosongan, jutaan-jutaan partikel hampa menjelma apa saja; satu diantaranya menjadi kita.

Alam semesta berisi energi yang tak akan bertambah dan tak akan berkurang. Di sana sudah ada rindu–yang belum kamu. Satu yg menjadi kita.

Kita memang tak pernah berjanji, namun aku dan kamu mencoba mengingkari, dengan membuat suatu ikatan di sini; di hati.

Cinta sejati adalah cinta yang bertahan sampai mati bukan pergi, dan aku belum mati.

Rindu6

Pemerintah akan membuat Kartu Sehat. Mudah-mudahan, dengan bertambahnya perindu, pemerintah dapat membuat Kartu Rindu.

Apabila kamu dan aku bertemu kenapa harus rindu?

Apabila kita saling terikat oleh nurani dan akal budi, apakah perlu kita saling membenci dan mencaci?

Apabila aku dan kamu tahu dan mengenal rindu. Apa perlu rindu tahu aku dan kamu?

Apabila rindu memiliki cita dan rasa, mungkinkah penantian jawabnya?

Apabila terbentuk aturan baku, rindu menjadi sulit bertemu. Alur menuju kamu, indahnya! Buat surat kesini buat surat kesitu.

Sambil duduk dan memeluk diriku, aku merenung dan melambung ke angkasa pikiran.

Dalam angkasa pikiranku, kulihat tata surya rasa. Dimana alam semesta menjadi aku yang meregang dan mengembang.

Dahulu sebelum ada kata penemu. Rasa baru hanya dua; suka dan duka. Selebihnya tak ada. Sekurangnya tak bernama.

Dalam semesta pikiranku, terdapat segala bisa dan mau. Segala temu dan rindu terdapat kamu.

Sudah dapat dipastikan apabila aku dan kamu tak perlu menjadi rindu, cukup bertemu.