Anak Semua Bangsa – Pramoedya Ananta Toer

“Semua yang terjadi di bawah kolong langit adalah urusan setiap orang yang berpikir.”
390

“Semua yang Tuan tidak mau bertanggungjawab, Tuhan yang Tuan suruh bertanggungjawab. Indah sekali…”
388

Yang menarik: tingkah orang berumur yang jatuh bangun cinta, sama saja dengan remaja. Orang jadi parlente dan heroik, segera menarik perhatian orang. Sepandai-pandainya lelaki, kata bujang nenekku dulu semasa aku masih sangat muda, kalau sedang gandrung: dia sungguh sebodoh-bodoh si tolol.
376

Tapi aku diam saja seakan tak terjadi sesuatu perubahan atas dirinya. Siapa dapat melarang orang jatuh atau bangun cinta? Dewa-dewa pun tak mampu. Kan dalam Baba Tanah Jawi sudah pada halaman-halaman pertama diceritakan bagaimana Batara Guru, seorang dewa, tergila-gila pada seorang wanita bumi? Batara Kala yang berkuasa mutlak atas waktu itu pun tak mampu menahan, apalagi mematahkan kuasa cinta.
376

“Semua kejadian besar sebaiknya disaksikan sendiri, Tuan Minke. Bukan hanya untuk bisa menulis dengan baik buat koran. Paling tidak… , membikin hidup kita sendiri jadi sarat.”
375

Orang bilang, Jepang hanya pandai meniru Barat. Mengejek ini adalah tidak belajar dari sejarah perkembangan. Meniru apa saja yang baik dan bermanfaat justru tanda-tanda kemajuan, bukan suatu nista seperti diejekkan oleh beberapa pendapat kolonial. Semua pribadi dan bangsa memulai dengan meniru sebelum dapat berdiri sendiri. Orang sepatutnya belajar membiasakan diri dengan kenyataan-kenyataan baru. Kenyataan itu tidak menjadi hilang hanya karena orang tidak suka atau karena diejek saban hari. Kan bangsa-bangsa Eropa pun, sebelum semaju sekarang, juga hanya bisa meniru?
364

Jangan remehkan suatu bangsa yang telah mampu bertahan terhadap supremasi Barat. Bangsa demikian juga akan mampu mengembangkan cita-citanya. Ilmu dan pengetahuan telah jadi milik dunia dan bangsa-bangsa yang mampu memiliknya.
363

“Sahabat dalam kesulitan adalah sahabat dalam segala-galanya. Jangan sepelekan persahabatan. Kehebatannya lebih besar daripada panasnya permusuhan…”
360

Memang kita tak punya kekuatan untuk melawan Hukum dan dia, tapi kita masih punya mulut untuk bicara. Dengan mulut itu saja kita akan hadapi dia.
360

Uh, dunia modern! Apa pula rakhmatmu sesungguhnya? Warisan busuk dunia lama belum lagi kikis: Pribumi tak boleh sama apalagi lebih dari Eropa, dan harus selalu kalah dan dikalahkan. Eropa bersaing dalam dirinya sendiri, liberal lawan bukan liberal, liberal lawan liberal, dan sekarang muncul emansipasi wanita Eropa: wanita lawan pria. Inikah jaman modern, jaman kemenangan modal? Mesin dan penemuan baru ternyata tak bisa bicara apa-apa. Manusia tetap yang dulu juga, ruwet dan pusing dengan nafsunya yang sama dan itu-itu juga, seperti di jaman wayang dulu.
324

Dia-Rijal! Truno kalahh karena ketidak-tahuannya. Rizal karena tidak yakin pada pengetahuannya pada nurani intelektuilnya.
312

Keajaiban pengetahuan: Tanpa mata yang melihat dia membikin orang mengetahui luasnya dunia: dan kayanya, dan kedalamannya, dan ketinggiannya, dan kandungannya, dan juga sampah-sampahnya.
311

“…Semua dibikin oleh penemu-penemu dan insinyur pandai. Tapi semua itu milik sang modal. Yang tak bermodal hanya akan jadi kuli, tidak lebih, biar kepandaiannya setinggi langit, lebih pandai daripada dewa-dewa Yunani dan Romawi sekaligus…”
309

Kebutuhan yang satu melahirkan kebutuhan yang lain, karena begitulah hukum kehidupan. Mau-tak-mau modal besar akan mendekatkan Pribumi pada ilmu dan pengetahuan Eropa tanpa sekehendak hatinya sendiri.
308

Modal besar ingin membikin seluruh Pribumi jadi kulinya. Tanah Pribumi jadi tanah usahanya. Maka mereka menolak mati-matian memberikan pendidikan Eropa. Takut ketahuan sumber kekuatan, kelicikan dan kejahatannya. Tetapi modal besar itu bukan hanya butuh kuli, juga mandor yang bisa baca tulis. Untuk itu diadakan sekolah desa. Baca dan tulis saja kemudian juga belum mencukupi. Dibutuhkan juga yang bisa menghitung dengan angka. Untuk itu diadakan sekolah Vervolg. Dan sekolah-sekolah itu membutuhkan guru. Maka diadakan Sekolah Guru. Kemudian dirasakan juga perlunya tenaga yang sedikit-sedikit tahu bahasa Belanda, maka Sekolah Dasar lima tahun itu dibagi jadi angka I dan II. Yang pertama mendapatkan sedikit bahasa Belanda. Makin lama modal besar membutuhkan terpelajar Pribumi juga untuk kepentingannya. Begitu seterusnya. Begitu seterusnya. Sekolah-sekolah yang lebih tinggi, setingkat dengan sekolah menengah vak untuk Pribumi mulai diadakan, Pertanian, Pemerintahan, Kedokteran, Kehakiman. Tak bisa dielakkan. Semua diperlukan karena perkembangan modal besar itu sendiri.
308

Betapa pengetahuan yang sedikit ini bisa menyiksa orang begini rupa…
304

“Aku bangga menjadi seorang liberal, Tuan, liberal konsekwen. Memang orang lain menamainya liberal keterlaluan bukan hanya tidak suka ditindas, tidak suka menindas, lebih dari itu: tidak suka adanya penindasan…”
303

“Aku lebih percaya pada Revolusi Prancis, Tuan Tollenaar. Kebebasan, Persaudaraan dan Persamaan, bukan hanya untuk diri sendiri seperti sekarang terjadi di seluruh daratan Eropa dan Amerka Serikat, tapi untuk setiap orang, setiap dan semua bangsa manusia di atas bumi ini. Sikap begini biasanya dinamai sikap liberal sejati, Tuan.”
302, 303

“…Biar pun kecil jumlahnya, kalau suatu golongan telah bangkit, bangsa yang sekecil-kecilnya juga akan bangkit…”
302

“Pada suatu kali, bila Tuan lebih banyak lagi membaca dan belajar, Tuan akan lebih mengerti daripada sekarang.”
301

“Semakin Pribumi banyak mengetahui ilmu dan pengetahuan Eropa, apa pun bangsanya, mereka akan mengikuti jejak Pribumi Filipina, berusaha membebaskan diri dari Eropa, entah dengan jalan apa dan bagaimana. Juga Pribumi Filipina ingin berdiri sendiri sebagai bangsa merdeka, seperti Jepang sekarang ini, diakui oleh negara-negara beradab di seluruh dunia.”
301

Dalam kepalaku terbayang para raja dan bupati Pribumi yang gila kebesaran. Orang-orang harus membungkuk dan merangkak di hadapan mereka, menyembah dan diperintah untuk menyenangkan hati mereka. Dan mereka belum tentu lebih terpelajar daripada orang yang diperintahnya. Kepalaku menggeleng dengan sendirinya.
300

Kemajuan menyebabkan Pribumi Filipina makin dekat pada ilmu-pengetahuan Eropa, memahami kekuatan yang ada pada bangsa Eropa, tahu menggunakannya, dan berontaklah mereka. Mereka sebagai manusia telah berubah karena pendidikan Eropa. Mereka tak bisa balik jadi Pribumi yang dulu. Gubermen Hindia Belanda menjadi lebih kuatir lagi kalau terpelajar Pribumi tahu pemberontakan Filipina itu dipimpin oleh golongan terpelajar, bukan sekedar kerusuhan petani seperti di Tulangan.
298

“… Berbagai macam penduduk akan pengaruh-mempengaruhi sampai-sampai pada dapurnya — Tuan sendiri mungkin sudah menyukai kecap, tahu, taoco, bakmi, bakso, hungkwee tanpa Tuan rasakan lagi sebagai pengaruh penduduk bangsa lain. Bukan hanya Pribumi di sini, juga bangsa-bangsa Eropa di sana. Orang menggunakan sendok dan garpu, orang makan spaghetti dan macaroni, juga pengaruh dapur Tionghoa. Semua yang menyenangkan ummat manusia, semua yang mengurangi penderitaannya, kebosanannya, semua yang mengurangi kepayahannya, di jaman sekarang ini akan ditiru oleh seluruh dunia. Juga Sinkeh muda itu. Dia dan teman-temannya hanya hendak meniru Amerika Serikat dan Prancis. Lama-kelamaan juga Pribumi sendiri. Dan kalau Pribumi sudah mulai meniru pula, tak ada tempat empuk lagi bagi modal besar untuk mendapatkan keuntungan dari Hindia.”
296, 297

Bangsa-bangsa yang menolak kekuasaan modal akan mati merana dan lumpuh tanpa daya. Masyarakat yang melarikan diri daripadanya akan menjadi masyarakat jaman batu. Semua harus menerimanya sebagai kenyataan, suka atau tidak.
295

“Kekuasaan yang tak berasal dari limpahan modal tidak ada sekarang ini, Tuan. Yang demikian hanya bisa terjadi pada masyarakat pengembara di padang rumput, padang pasir, hutan belantara, dan savanna. Sepandai-pandainya orang, dan Stevenson manusia ulung abad ini pun, takkan dapat berikan lokomotif pada dunia, kalau modal nihil. Hanya dengan modal dia dapat perintah mendung menggerakkan gerbong yang puluhan meter panjang. Tanpa modal orang tak bisa perintah petir menghidupkan telegrap dan telepon. Kan? Kan begitu. Tanpa modal, pembesar-pembesar itu tinggal jadi wayang kulit tanpa gapit. Kan, kan begitu?”
294

“Betul,” sekarang Ter Haar, “yang dikatakan modal lebih daripada hanya uang, Tuan. Sesuatu yang mujarad, abstrak, punya kekuasaan gaib atas benda-benda nyata. Semua yang menyebabkan segala yang berpencaran berkumpul, yang berkumpul berpencaran, yang cair jadi beku, yang beku dicairkan. Segala berubah bentuk dalam genggamannya. Yang basah dia bikin kering yang kering jadi basah. Dewa baru yang mengepal seluruh dunia. Membosankan memang, tapi nyata. Produksi, dagang, tetesan keringat, angkutan, hubungan, saluran — dan tak ada satu orang pun dapat bebas dari kekuasaan, pengaruh dan perintahnya. Dan, Tuan Minke, cara berpikir, cita-cita, dibenarkan atau tidak, direstui atau tidak olehnya juga.”
293, 294

Yang dinamakan jaman modern, Tuan Tollenaar, adalah jaman kemenangan modal. Setiap orang di jaman modern diperintah oleh modal besar, juga pendidikan yang tuan tempuh di H.B.S, disesuaikan dengan kebutuhannya –bukan kebutuhan Tuan pribadi. Begitu juga suratkabarnya. Semua diatur oleh dia, juga kesusilaan, juga hukum, juga kebenaran dan pengetahuan.”
292, 293

“… Kemanusiaan Tuan kuat. Biar begitu kemanusiaan tanpa pengetahuan tentang duduk soal kehidupannya sendiri, di Hindia ini, bisa tersasar…”
292

“…Setengah tahu belum berarti tahu…”
292

“Dari mereka semua aku mengutipi pengetahuan tentang dunia. Sedang dengan mataku, pendengaranku, telapak kakiku, kuhimpun beberapa gumpal pengetahuan tentang Hindia.”
291

“Apa boleh buat. Biar cerah dan jeli penglihatan Tuan. Ketidaktahuan adalah aib. Membiarkan orang yang ingin tahu tetap dalam ketidaktahuan adalah khianat. Nah, aku bebas dari khianat, kan?”
289

Makin lama dia makin menggurui. Makin naik semangat-semangat guru tanpa bayaran. Makin menghilangkan semangat si murid tanpa pernah membayar… Aku tidak mengerti. Tidak mengerti! Siapa bisa salahkan orang tidak mengerti?
287

Dia seakan mendakwa aku: pekerjaanku tak lain daripada menyenangkan para pemilik saham pabrik. Padahal setiap tulisan kukerjakan dengan penuh kesungguhan, mengerahkan kemampuan pikiran dan perasaan. Sampai tandas, tuntas.
286

Hampir tak ada koran netral di negeri mana pun, katanya. Di Hindia hampir semua koran kolonial keterlaluan. Lebih jelek lagi: Koran perkebunan. Pekerjaannya yang terutama memberi komando tidak langsung atau saran pada pejabat-pejabat pemerintahan setempat sesuai dengan kehendak perkebunan. Berita-berita yang dimuat di dalamnya hanya untuk memenuhi syarat sebagai koran semata.
286

“Dalam masa hidup kita, Tuan Minke, ada silang-siur berbagai macam pikiran. Tuan Njiman tak suka pada orang yang tak sepikiran dengannya.”
284

“Orang bisa percaya pada segala yang tidak benar. Sejarah adalah sejarah pembebasan dari kepercayaan tidak benar, perjuangan melawan kebodohan, ketidaktahuan.”
216

Sekiranya Multatuli ada di Surabaya, aku akan datang dan bilang padanya: guru, hari ini aku mulai melangkah mengikuti tumitmu.
210

Jelas menulis bukan hanya untuk memburu kepuasan pribadi. Menulis harus juga mengisi hidup…
209

Ya, memang belum banyak yang bisa kudapatkan dalam diriku. Jean Marais bercita-cita mengisi hidup dengan lukisan-lukisannya, bukan hanya menyambung hidup. Untuk apa aku menulis sampai mendapatkan kemashuran sebanyak itu? Hanya untuk memburu kepuasan diri semata? Kau tidak adil, Minke, kalau dengan memburu kepuasan saja bisa mendapatkan kemashuran. Tidak adil! Orang-orang lain bekerja sampai berkeringat darah, mati-matian, jangankan mendapat kemashuran, hanya untuk dapat makan dua kali sehari belum tentu bisa.
209

“Dengan hanya memandang manusia pada satu sisi, sisi penderitaan semata, orang akan kehilangan sisinya yang lain. Dari sisi penderitaan saja, yang datang pada kita hanya dendam, dendam semata…”
204

“Yang lebih penting lagi adalah dapat menikmati hidup dan keindahannya, juga tidak menutup mata terhadap borok-boroknya. Dibutuhkan kekuatan, keras dan kukuh, untuk membikin terobosan dari satu ton tindasan penderitaan, Tuan. Itu yang kuharap dari Tuan Minke.”
204

“…Kritik boleh ditangkis, tapi harus didengarkan dulu, direnungkan, kalau perlu tidak ditangkis dan diterima sebagai saran. Orang tak perlu marah mendapatkan kritik”
202

“…Ia melihat semua orang yang menderita sebagai sahabatnya, semua ketidakadilan sebagai musuhnya. Tidak seharusnya orang mesti melihat keceriaan dan derita sebagai keseimbangan. Kan kehidupan lebih nyata daripada pendapat siapa pun tentang kenyataan?”
199

“Kehidupan ini seimbang, Tuan. Barangsiapa hanya memandang pada keceriannya saja, dia orang gila. Barangsiapa memandang pada penderitaannya saja, dia sakit.”
199

Juga kejahatan berdatangan dari semua bangsa dari segala jaman.
186

Dan bukan hanya Eropa! Jaman modern ini telah menyampaikan padaku buah dada untuk menyusui aku, dari Pribumi sendiri, dari Jepang, Tiongkok, Amerika, India, Arab, dari semua bangsa di muka bumi ini. Mereka adalah induk-induk serigala yang menghidupi aku untuk jadi pembangun Roma! Apakah kau benar akan membangun Roma? Ya, jawabku pada diri sendiri. Bagaimana? Aku tak tahu. Dengan rendahhati aku mengakui: aku adalah bayi semua bangsa dari segala jaman, yang telah lewat dan yang sekarang. Tempat dan waktu kelahiran, orangtua, memang hanya satu kebetulan, sama sekali bukan sesuatu yang keramat.
185, 186

Melalui Eropa kau baru bisa mengenal bangsamu sendiri. Belajar bahasa-bahasa Eropa bukan berarti kau harus tidak bicara dengan bangsamu dan hanya bicara pada orang-orang Eropa.
185

Kata brosur tanpa nama dari Magda Peters: Petani Jawa takut pada semua yang bukan petani, karena dari pengalaman berabad mereka mengerti tanpa sadarnya, semua yang berada di luar mereka secara sendiri-sendiri atau bersama adalah perampas segala apa dari diri mereka.
184

Ibunya terus-menerus mendesaknya untuk menolak apa saja yang disarankan bapaknya. Tapi ia sendiri lebih takut pada bapaknya dan lebih kasihan pada ibunya. Sejak kecil ia diajar takut dan patuh pada orangtua. Dengan kata. Dengan pukulan. Dengan cubitan. Ia takut pada ibunya, pada bapaknya.
158

Tapi jabatan: — dia segala dan semua bagi Pribumi bukan tani dan bukan tukang. Harta-benda boleh punah, keluarga boleh hancur, nama boleh rusak, jabatan harus selamat. Dia bukan hanya penghidupan, di dalamnya juga kehormatan, kebenaran, hargadiri, penghidupan sekaligus. Orang berkelahi, berdoa, bertirakat, memfitnah, membohong, membanting tulang, mencelakakan sesama, demi sang jabatan. Orang bersedia kehilangan apa saja untuk dia, karena, juga dengan dialah segalanya bisa ditebus kembali.
146

Kartini pernah mengatakan: mengarang adalah bekerja untuk keabadian? Kalau sumbernya abadi, bisa jadi karangan itu menjadi abadi juga.
121

Tahu Tuan, mereka, entah berbangsa apa, yang tidak menulis dalam bahasanya sendiri kebanyakan orang yang mencari pemuasan kebutuhan dirinya sendiri, tidak mau mengenal kebutuhan bangsa yang menghidupinya, karena kebanyakan memang tidak mengenal bangsanya sendiri?
121

Tanpa mempelajari bahasa bangsa-bangsa lain, terutama Eropa, orang takkan mengenal bangsa-bangsa lain. Bahkan tanpa mempelajari bahasa sendiri pun orang takkan mengenal bangsanya sendiri.
119

Kalau aku seorang pengarang, aku akan menggunakan bahasaku sendiri. Karena aku pelukis! Bahasaku warna, bahasa antar manusia, bukan antar bangsa.
118

Tak ada salahnya orang mencintai bangsa dan negeri ini tanpa mesti Pribumi., tanpa berdarah Pribumi pun. Lihat, Tuan, hidup Pribumi sangat sunyi — tidak pernah bicara dengan manusia dan dunia di luar dirinya. Hidupnya berputar-putar siang-malam pada satu sumbu, dalam ruang dan lingkaran yang sama. Sibuk dengan impian sendiri saja.
118

Barangsiapa muncul di atas masyarakatnya, dia akan selalu menerima tuntutan dari masyarakatnya — masyarakat yang menaikkannya, atau yang membiarkannya naik. Kan Tuan hafal betul pepatah Belanda itu: Pohon tinggi dapat banyak angin? Kalau Tuan segan menerima banyak angin, jangan jadi pohon tinggi.
117

Apa artinya pandai kalau tak berbahagia di rumah sendiri? Belajar bekerja juga penting — belajar membangun kehidupan sendiri. Sekolahan kan cuma, penyempurna saja?
113

Untuk apa hidup sesungguhnya? Bukan untuk menampung semua yang tidak diperlukan.
111

Namun ia masih tetap memiliki kelincahan dan kepercayaan akan kegemilangan hari esok. Dia terima segala kesulitan hidup secara sadar dan mencoba mengatasinya secara sadar. Boleh jadi dengan demikian segala kesulitan dianggapnya sebagai sebuah sport pelatih otak dan otot. Kesulitan justru memperkuat dirinya, bukan memperlemah.
109

Inilah jaman modern, Minke. Yang tidak baru dianggap kolot, orang tani, orang desa. Orang menjadi begitu mudah terlena, bahwa di balik segala seruan, anjuran, kegilaan tentang yang baru menganga kekuatan gaib yang tak kenyang-kenyang akan mangsa. Kekuatan gaib itu adalah deretan protozoa, angka-angka, yang bernama modal.
Di Hindia, Minke, lain dari di Eropa. Di Hindia manusia tiada berarti di hadapan kekuasaan. Di Eropa manusia runtuh di hadapan deretan protozoa yang bernama modal itu
107

Setiap saat orang bisa minta ampun pada Tuhan, bila berdosa terhadapNya, dosa terhadap sesama manusia lain lagi, terlalu susah untuk mendapat ampun daripadanya. Tuhan Maha Pemurah, manusia maha tidak pemurah.
98

Dulu suatu bangsa bisa hidup aman di tengah-tengah padang pasir atau hutan. Sekarang tidak. Ilmu-pengetahuan modern mengusik siapa saja dari keamanan dan kedamaiannya. Juga manusia sebagai makhluk sosial dan sebagai individu tidak lagi bisa merasa aman. Dia dikejar-kejar selalu, karena ilmu-pengetahuan modern memberikan inspirasi dan nafsu untuk menguasai: alam dan manusia sekaligus. Tak ada kekuatan lain yang bisa menghentikan nafsu berkuasa ini kecuali ilmu-pengetahuan itu sendiri yang lebih unggul, di tangan manusia yang lebih berbudi….
93

“Jadi Tuan benar-benar tidak tahu tentang Filipina?”
“Sayang sekali. Hanya tahu ada perang antara Spanyol dan Amerika Serikat di Filipina.”
Dan ia mendengus, kemudian malah tertawa.
“Mengapa, Tuan?”
“Spanyol dan Amerika Serikat itu hanya bersandiwara perang. Tidak terjadi sesuatu antara mereka, Tuan — hanya sandiwara bagaimana Spanyol menjual bangsa Filipina kepada Amerika Serikat tanpa harus kehilangan muka di dunia internasional.”
91

Filipina. “Mereka telah berguru dengan baik pada Spanyol, pada Eropa. Lebih dahulu dari Jepang. Lebih dahulu dari Tiongkok. Sayang dia negeri jajahan, tidak seperti Jepang. Yang pertama tak bisa berkembang karena dijajah. Yang kedua berkembang — berkembang ‘terlalu’ baik. Filipina murid yang baik Spanyol. Dan Spanyol guru buruk, malah busuk bagi Filipina. Tapi Pribumi Filipina berguru tidak sembarang berguru. Ia berguru dari Spanyol, dari Eropa. Filipina juga guru besar bagi bangsa-bangsa terjajah di Asia. Dia pendiri Republik pertama di Asia. Dan runtuh. Percobaan sejarah.”
91

“Maka jangan harapkan pendidikan modern akan diberikan di negeri-negeri jajahan seperti Tuan ini. Hanya bangsa jajahan sendiri yang tahu kebutuhan negeri dan bangsanya sendiri. Negeri penjajah hanya akan menghisap madu bumi dan tenaga bangsa jajahannya. Dibolak-dibalik akhirnya kaum terpelajar bangsa jajahan sendiri yang perlu tahu kewajibannya.”
90

“Tapi ilmu-pengetahuan bukan satu-satunya kunci,” kataku.
“Tuan betul,” jawabnya. “Dia hanya syarat. Dengan ilmu pengetahuan modern, binatang buas akan menjadi lebih buas, dan manusia keji akan semakin keji. Tapi jangan dilupakan, dengan ilmu-pengetahuan modern binatang-binatang yang sebuas-buasnya juga bisa ditundukkan. Tuan tahu yang kumaksudkan: Eropa.
90

“Demikian watak umum mereka yang berkuasa di negeri-negeri jajahan — lebih memuakkan lagi yang menetap di negeri-negeri yang dianggap jajahannya. Mengharapkan yang lain dari mereka adalah kekeliruan.”
86

“Seluruh dunia kekuasaan memuji-muji yang kolonial. Yang tidak kolonial dianggap tak punya hak hidup, temasuk mamamu ini. Berjuta-juta ummat manusia menderitakan tingkahnya dengan diam-diam seperti batu kali yang itu juga. Kau, Nak, paling sedikit harus berteriak. Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudianhari. Dan yang kolonial itu, kan itu persyaratan dari bangsa pemenang pada bangsa yang dikalahkan untuk menghidupinya? — suatu persyaratan yang didasarkan atas tajamnya dan kuatnya senjata?”
84

“…Jangan agungkan Eropa sebagai keseluruhan. Di mana pun ada yang mulia dan jahat. Di mana pun ada malaikat dan iblis. Di mana pun ada iblis bermuka malaikat, dan malaikat bermuka iblis. Dan satu yang tetap, Nak, abadi: yang kolonial, dia selalu iblis. Kau hidup dalam alam kolonial. Kau tak dapat menghindari. Tak apa, asal kaaau mengerti, dia iblis sampai akhir jaman, dan kau mengerti dia memang iblis.”
82

Jangan remehkan satu orang, apalagi dua, karena satu pribadi pun mengandung dalam dirinya kemungkinan tanpa batas.
82

Aku harus pergi, harus kembali jadi seorang pribadi, bukan kerdil terlindungi bayang-bayang siapa pun.
80

“Jangankan koran, Nak, Pengadilan dan Hukum pun bisa dan boleh dipergunakan oleh penjahat-penjahat untuk melaksanakan maksudnya. Minke, Nak, jangan kau mudah terpesona oleh nama-nama. Kan kau sendiri pernah bercerita padaku: nenek-moyang kita menggunakan nama yang hebat-hebat, dan dengannya ingin mengesani dunia dengan kehebatannya — kehebatan dalam kekosongan? Eropa tidak berhebat-hebat dengan nama, dia berhebat-hebat dengan ilmu dan pengetahuannya. Tapi si penipu tetap penipu, si pembohong tetap pembohong dengan ilmu dan pengetahuannya.”
77

Pribumi Hindia, Jawa khususnya, yang terus-menerus dikalahkan di medan-perang selama ratusan tahun, bukan saja dipaksa mengakui keunggulan Eropa, juga dipaksa merasa rendahdiri terhadapnya. Sedang Eropa, yang melihat Pribumi tidak mengidap penyakit rendahdiri nampak olehnya sebagai benteng perlawanan terhadapnya, yang juga harus ditaklukan.
Sudah tepatkah pandangan Eropa kolonial ini? Bukan saja tidak tepat, juga tidak benar. Tetapi Eropa kolonial tidak berhenti sampai di situ. Setelah Pribumi jatuh dalam kehinaan dan tak mampu lagi membela dirinya sendiri, dilemparkannya hinaan yang sebodoh-bodohnya. Mereka mengetawakan penguasa-penguasa Pribumi di Jawa yang menggunakan tahyul untuk menguasai rakyatnya sendiri, dan dengan demikian tak mengeluarkan biaya menyewa tenaga-tenaga kepolisian untuk mempertahankan kepentingannya. Nyai Roro Kidul adalah kreasi Jawa yang gemilang untuk mempertahankan kepentingan raja-raja Pribumi Jawa. Tapi juga Eropa mempertahankan tahyul: tahyul tentang hebatnya ilmu pengetahuan agar orang-orang jajahan tak melihat wajah Eropa, wujud Eropa, yang menggunakannya. Baik penguasa Eropa kolonial mau pun Pribumi sama korupnya.
77

“Jangan sentimen,” katanya menasehati. “Kau dididik untuk menghormati dan mendewakan Eropa, mempercayainya tanpa syarat. Setiap kau melihat kenyataan adanya Eropa tanpa kehormatan, kau lantas jadi sentimen. Eropa tidak lebih terhormat daripada kau sendiri, Nak! Eropa lebih unggul hanya di bidang ilmu, pengetahuan dan pengendalian diri. Lebih tidak. Lihatlah aku, satu contoh yang dekat –aku, orang desa, tapi bisa juga sewa orang-orang Eropa yang ahli. Juga kau bisa. Kalau mereka bisa disewa oleh siapa saja yang bisa membayarnya, mengapa iblis takkan menyewanya juga?
76

“Memang aneh cerita tentang kuncir ini. Pada suatu kali dalam suatu jaman, Eropa pernah begitu mengagumi kami, sampai …. sampai Prancis ikut latah berkuncir. Kemudian, Tuan, orang-orang Belanda ikut latah berkuncir pula. Juga orang Amerika … Berthau-cang!
Tapi itu pada suatu kali dalam suatu jaman semasa Eropa belum lama berkenalan dengan kami. Sekarang tentu tidak. Walau bagaimana pun memang mengherankan: Eropa berkuncir! Sampai-sampai Amerika semasa revolusinya! Pada masa jaya-jayanya Prancis, bukan hanya meniru berkuncir, bahkan juga meniru makan ‘katak’! Yang pada bangsa-bangsa manusia sisanya dianggap hina. Dan apa thau-cang itu, Tuan? Tidak lain dari tanda budak dan tanda takluk semasa Tiongkok dikuasai oleh bangsa dari utara. Nah, Tuan, kuncir di Tiongkok adalah tanda kehinaan. Di Eropa sebaliknya, dia tanda kejayaan pada suatu kali dalam suatu jaman. Di Tiongkok orang terbiasa makan katak karena kemiskinan, di Eropa karena kemegahan. Begitu bolak-baliknya jaman dan keadaan.
68

Negeri dan bangsa mana pun yang tak dapat menyerap kekuatan Eropa dan bangkit bersama itu, akan diterkam oleh Eropa. Kami harus serasikan Cina kami dengan kekuatan Eropa tanpa menjadi Eropa, seperti halnya dengan Jepang.
67

Setidak-tidaknya semua percuma kalau toh harus diperintah oleh Angkatan Tua yang bodoh dan korup tapi berkuasa, dan harus ikut serta jadi bodoh dan korup demi mempertahankan kekuasaan. Percuma, Tuan. Sepandai-pandainya ahli yang berada dalam kekuasaan yang bodoh ikut juga jadi bodoh, Tuan.
66

Coba, mendapat upah karena menyenangkan orang lain yang tidak punya persangkutan dengan katahati sendiri, kan itu di dalam seni namanya pelacuran? Kau masih lebih beruntung dapat tumpahkan isihatimu dalam tulisan. Aku tidak.
59

Kau Pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, Pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu.
Kau seorang terpelajar! Kau harus adil — adil sudah sejak dalam pikiran.
55, 56

Jarak peradaban itu, berapa pun langkahnya, tidak penting. Bagaimana pun yang kuat akan menelan yang lemah. Biar pun yang kuat itu hanya kecil. Bayangkan saja: Cina bangsa besar. Bagaimana kalau sekaligus kuat? Bahaya Kuning, Tuan-tuan. Bahaya Kuning. Awas-awas. Jepang sudah jadi kenyataan. Cina juga bisa jadi kenyataan. Kita suka atau tidak. Mungkin kita sudah tak bakal menyaksikan. Tapi awas-awaslah, karena waktu berjalan terus. Kita suka atau tidak.
53

Jepang sudah dianggap setingkat dengan Eropa. Tiongkok belum. Benar kata orang: antara Jepang dan Cina hanya ada satu langkah. Hanya tidak bisa dihitung dengan kilometer atau mil. Dia adalah langkah peradaban. Hanya bisa diukur dengan kemampuan-dalam bangsa Cina itu sendiri.
52

Memalukan. Bukan itu saja. Sesungguhnya aku menjadi geram karena kesadaran yang tak berdaya. Semakin lama aku semakin bingung dengan riuhnya pikiran dan pendapat begitu banyak orang. Sekolahan tetap paling sederhana. Orang hanya akan mendengarkan dan percaya tak bercadang pada beberapa orang guru. Dan angka terbaik diberkatkan pada setiap murid yang jadi sebagaimana dikehendaki guru-gurunya.
52

Aku pikir, Minke, negerimu memang terpencil, terlampau jauh untuk bisa dengar derap bangsa-bangsa lain. Dan bila bangsa-bangsa lain itu telah merasa sesak di negerinya sendiri, dia bisa datang padamu dan mendapatkan tanah lembut dan hangat untuk bersantai dan bersimarajalela. Bangsa kecil seperti Belanda pun bisa berbuat semacam itu di negerimu. Dan bangsamu tidak bisa berbuat sesuatu apa. Tiga ratus tahun, Minke. Tidak sebentar.
51

Utara bukan sesuatu yang mengandung magis. Tapi benar: arahkan selalu pandangmu ke utara dengan waspada.
51

Orang tak mau melihat kelebihan mereka, kecuali melototi perbedaannya.
50

Kalau aku memaksa diri memahami apa yang sedang terjadi dengan kemampuanku yang baru sejengkal: memang mereka sedang cemas pada bayang-bayang sendiri. Dan bayang-bayang yang muncul jauh di ufuk penglihatan pula.
49

Bangsa Jepang dan Cina terkenal sebagai bangsa pengembara karena kemiskinan. Kabarnya. Jepang kini semakin berduyun ke Hawai, malahan mulai berdatangan ke Amerika, Utara dan Selatan. Bangsa Cina telah memasuki Asia Tenggara dalam gelumbang-gelumbang besar. Kata para pengenal: sudah mulai sebelum Masehi.
48

Mengapa yang tidak setuju tak dapat mengekang nafsu menghina? Antara kita sendiri — kalau hanya hendak menghina — pun tidak semua bisa berdiri sama tinggi. Penghinaan yang bodoh hanya akan memukul diri sendiri.
47

“Tidak, Nak, ini perbuatan manusia. Direncanakan oleh otak manusia, oleh hati manusia yang degil. Pada manusia kita harus hadapkan kata-kata kita. Tuhan tidak pernah berpihak pada yang kalah.”
41

What is in a name? Apa arti sebuah nama? Orang memanggil aku Minke. Boleh jadi memang suatu salah ucap dari monkey. Tapi itulah nama. Dia akan tetap membikin aku menyahut bila dipanggil.
20

Nama berganti seribu kali sehari, makna tetap.
20

“Barangsiapa tidak tahu bersetia pada azas, dia terbuka terhadap segala kejahatan: dijahati atau menjahati.”
4

Dan mulailah ia menggurui aku tentang azas – suatu ajaran baru yang tak pernah kudapatkan dari sekolah. Juga tak pernah terbaca olehku dalam buku, koran, atau berkala. Hati yang belum lagi tenang ini masih belum terbuka ajaran baru, biar indah dan bermanfaat seperti apapun.
3

Jangan kau kira bisa membela sesuatu, apalagi keadilan, kalau tak acuh terhadap azas, biar sekecil-kecilnya pun……
3

Juga cinta, sebagaimana halnya dengan setiap benda dan hal, mempunyai bayang-bayang. Dan bayang-bayang cinta itu bernama derita. Tak ada satu hal pun tanpa bayang-bayang, kecuali terang itu sendiri…
2

Orang bilang, apa yang ada di depan manusia hanya jarak. Dan batasnya adalah ufuk. Begitu jarak ditempuh sang ufuk menjauh. Yang tertinggal jarak itu juga – abadi. Di depan sana ufuk yang itu juga – abadi. Tak ada romantika cukup kuat untuk dapat menaklukan dan menggenggamnya dalam tangan – jarak dan ufuk abadi itu.
1, 2

Juga aku, manusia yang buta terhadap hari-depan, hanya dapat berharap tahu. Uh, sedang yang sudah dilewati tak semua dapat diketahui.
1

Ya, masa muda yang indah penuh harapan dan impian – dan dia takkan balik berulang.
1

Han, memang bukan sesuatu yang baru. Jalan setapak setiap orang dalam mencari tempat di tengah-tengah dunia dan masyarakatnya untuk menjadi diri sendiri melelahkan dan membosankan untuk diikuti.
Lebih membosankan adalah mengamati yang tidak membutuhkan sesuatu jalan
Menjangkarkan akar tunggang pada bumi dan tumbuh jadi pohon.
1